Sketsa rembulan di angkasa raya menampakkan senyum bulanannya kembali.
Aku, Gio, kembali memainkan ujung bolpoin untuk menenangkan jiwaku yang
baru saja di hantam gelombang terbesar yang pernah ada. Sudut mataku
mengatakan pada dunia bahwa aku perlu untuk menata hati yang pernah
kacau tak karuan. Namun, akal sehatku menentang itu.
Kini aku tengah duduk sendiri di dalam kesepian menunggu putusan antara
perdebatan hati dan pikiran. Mungkin untuk kali ini aku harus mengikuti
pikiranku yang memang sedang kacau. Menurutku, buat apa kita
terus-terusan menata hati kalau nyatanya akan kacau kembali seperti
sediakala. Biarkan saja semua berjalan apa adanya. Toh, tak ada yang
tahu siapa aku dan mengapa aku ada disini.
Itulah pikiran yang sempat ada di benakku selama tiga tahun ini. Tanpa
adanya satu titik terang, aku menganggap bahwa semua yang ada dalam
hidup ini hanyalah takdir. Semuanya harus dijalani tanpa adanya sedikit
perubahan dari skenario yang dibuat Tuhan. Ada kalanya aku merasa
terasing dengan diriku. Aku sendiri tak mengerti mengapa aku bisa
begini. Aku sama sekali tak memperhatikan segala yang ada di sekitarku.
Aku hanya mengambil teori diam adalah emas. Seringkali aku tak ambil
pusing dengan apa yang dikerjakan oleh orang lain. Aku santai dengan
hidupku. Namun aku hening saat rasa takut mencekamku.
Lalu, apa yang dapat dilakukan teman-temanku? Mereka menganggap aku
seperti biasanya. Dan kini itu yang terjadi padaku. Saat aku sempat
kehilangan semangat hidup, mereka hanya bisa tertawa dengan lelucon
konyol yang mereka buat beberapa waktu yang lalu. Aku tak habis pikir,
mengapa hanya dengan satu lelucon mereka dapat tertawa selama kurang
lebih 30 menit ini. Aku sendiri merasa heran. Namun setiap kali aku
ingin menanyakan itu, lagi-lagi rasa itu kembali muncul. Aku merasa acuh
tak acuh dengan semuanya. Masa bodoh dengan tawa. Kalau nyatanya hatiku
kembali kacau seperti sediakala.
Kutatap langit malam ini. Tak ada bintang yang bersinar. Hanya ada
senyuman dari dewi malam. Aku beranjak pergi meninggalkan kamar kost.
Menapaki jalanan di sepanjang kota metropolitan ini. Di kiri kanan jalan
terdapat banyak lampu yang berjejeran. Layaknya pengganti
bintang-bintang di malam ini. Dan juga terdapat berbagai macam manusia
di sini. Mereka keluar untuk mencari kesenangan dan menghilangkan rasa
bosan yang menggelayuti jiwanya.
Begitu pun dengan aku. Berjuang di kota kecil ini untuk menamatkan studi
untuk menyenangkan hati untuk sesaat. Aku ingin semuanya mengalir
bagaikan air. Tanpa dihalang-halangi oleh batu-batu di tengah sungai.
Tapi, itu tak mungkin. Ada seseorang yang pernah mengatakan padaku
bahwa, “Hidup tak akan terasa berkesan apabila seperti jalan tol”. Aku
mengerti maksud dari perkataannya, walaupun sedikit samar. Karena aku
hanya mengambil kesimpulan dari satu pandangan.
Ya. Pandangan diriku sendiri. Tak lama lagi ujian pra semester akan
dimulai. Aku merasa bosan dengan semua rutinitasku di tempat ini.
Belajar, tidur, dan makan. Menurutku hanya itu-itu saja. Pikiran aneh
mulai berkelebat di otakku. Aku harus mencari suasana baru untuk
menanggapi hidup ini. Aku ingin mencari batu hambatan itu.
Ya. Aku
benar. Hidupku akan terasa lebih berarti jika aku menemui hambatan. Tak
seperti ini, baik-baik saja dengan segala kemungkinannya. Atau, apakah
aku terlalu cuek untuk semua masalah yang menimpaku? Ah, lagi-lagi
pikiran masa bodohku mulai berkembang.
Teman-temanku sepertinya telah mengetahui bahwa aku adalah tipe orang
yang cuek dengan keadaan sekitar. Namun, aku sendiri tak mengetahui
mengapa aku bisa demikian. Mungkin karena aku tak sempat memikirkan
hal-hal seperti itu. Selama ini, yang ada di dalam pikiranku hanyalah
sebuah langkah untuk menggapai cita-citaku. Dan, sepatutnya aku
bersyukur karena semua yang aku inginkan terjadi.
Malah kini aku merasa bosan dengan hidupku sendiri. Aku ingin mencari
suasana baru di kota baru. Dan aku memutuskan untuk pergi ke salah satu
pelosok dunia yang kurang terjamah daerahnya. Dan aku akan menetap di
sana. Sendiri. Aku akan mencoba untuk memulai sosialisasiku yang kurang
sempurna dengan alam. Aku akan berusaha memahami alam ciptaan Tuhan ini.
Dan tempat itu adalah kota terpencil di tepi pulau yang aku diami ini.
Aku akan mencoba untuk menjadi rakyat biasa yang tak begitu
memperdulikan style. Aku mencoba untuk tergantung pada alam hingga
akhirnya aku akan menemukan kebahagiaan di tempatku yang baru. Lagi-lagi
pikiran aneh menggelayut di dalam benakku. Pergi? Hmm…mungkin ini bukan
yang terbaik untukku saat ini. Namun, apa salahnya aku mencoba.
Sesaat kuhirup Dji Sam Soe yang tengah menyala. Kulangkahkan kaki menuju
bis yang tak jauh dari pandangan mataku. Aku haru menjemput tas
cangklongku jika aku tetap mau pergi dari kota ini. Di dalam bis, telah
banyak kerumunan orang yang sedang menanti keberangkatan bis ini. Aku
memilih untuk duduk di jok paling belakang, bersebelahan dengan seorang
pemuda sebayaku yang sepertinya penampilannya tak terawat sama sekali.
Baju kaos yang kumal membaluti tubuhnya, dan sepertinya ia sangat
kelelahan. Aku mencoba menilik gayanya dalam keremangan bis kota ini.
Tak lama, supir mulai masuk dan menjalankan kendaraan ini. Aku terlelap
sesaat di dalam bis ini hingga cahaya yang begitu terang meresap ke
dalam pelupuk mataku. Kubuka mata dan, di hadapanku telah ada tiga orang
lelaki yang bertubuh kekar dengan tampang yang bengis. Dan, salah satu
dari mereka adalah pemuda yang duduk di sebelahku tadi. Ketika itu jua,
aku merasa tali tambang mengikat tangan dan kakiku. Hh…
Seketika aku merasa takut dengan suasana seperti ini. Tak seperti
biasanya, aku begitu ketakutan saat ketiga orang ini mengulitiku dengan
pandangannya. Nyaliku seketika menciut dan akhirnya aku mendengar salah
satu dari mereka mengatakan,
“Kamu Gio Siregar?” Sesaat aku hanya diam, dan kembali ia menanyakan hal
itu kepadaku seraya menyodorkan pisau belatinya yang saat itu berkilat
terkena cahaya neon dalam ruangan tanpa jendela ini.
“Hh…i…iya…Apa salahku?”
“Kamu anak Pak Irawan?” Tanya satu dari mereka yang tampangnya paling
bengis kepadaku. Aku hanya diam. Tak ingin kembali mengorek luka lamaku
dan mengakui lelaki bejat yang telah menyakiti ibu adalah ayahku untuk
saat ini. Mungkin saja dia yang telah membuat aku ditahan oleh
orang-orang ini, pikirku.
“Jawab!” bentak salah satu di antara mereka kepadaku. Seketika aku
mencoba untuk berontak. Namun, apalah dayaku dengan tangan dan kaki yang
terikat seperti ini. Hingga mereka naik pitam dan menghajarku
habis-habisan.
Sebenarnya mereka sangat tidak adil jika mengadili aku
dengan cara seperti ini. Dan setelah mereka puas memukuliku, mereka
pergi ke salah satu ruang yang bersebelahan dengan tempatku. Di dalam
sana entah apa yang mereka bicarakan. Sedangkan aku, di sini diam tanpa
kata sembari menekuri lantai semen sambil menahan rasa sakit yang hampir
menggerogoti sebagian besar wajahku.
Di sinilah aku merasa sangat kecewa dengan hidup. Ingin rasanya aku
mengulang kejadian yang lalu. Ada baiknya aku mengindahkan saran Tito
yang melarangku untuk pergi ke luar malam ini. Apa salahnya aku
menyelesaikan makalah yang akan membawa kesuksesan kepadaku di hari
nanti.
Namun, nasi telah menjadi bubur. Apa gunanya aku menyesali segala
hidupku yang urak-urakan seperti saat ini? Toh, dari dulu aku tak pernah
menghargai hidup ini. Aku tak pernah perduli dengan apa yang terjadi.
Namun, saat ini aku benar-benar menyesal. Bagaimana caranya aku keluar
dari masalah ini? Dan kembali hidup normal dengan teman-temanku. Dan,
pastinya dengan menyelesaikan semua tugas yang telah dosen-dosen berikan
kepadaku.
Sesaat kemudian, pintu tua yang tepat berada di hadapanku
didobrak oleh sekelompok orang. Setelah aku amati betul dengan mata yang
nanar, sepertinya keberuntungan ada di pihakku saat ini. Sekumpulan
polisi bersenjatakan lengkap berdiri dan mengarahkan pistolnya ke segala
arah. Mewaspadai ada ancaman dari berbagai pihak. Dan, salah satu dari
polisi itu berjalan ke arahku dan melepaskan tali tambang itu dari
tangan dan kakiku.
Aku sedikit lega saat mereka berpencar ke segala arah dan akhirnya
ketiga orang yang menyiksaku tadi ditangkap oleh polisi ini. Kami
berempat dibawa ke kantor polisi untuk diusut perkaranya. Di tengah
perjalanan aku mulai membuka pembicaraan kepada salah seorang anggota
polisi itu. Dan, setelah berbincang agak lama, kami sampai kepada topik
tentang pembunuhan yang telah dilakukan komplotan orang tersebut.
“Dia telah membunuh Insinyur Irawan dua minggu lalu.” Tutur polisi muda
itu. Seketika langit serasa akan runtuh di atas ubun-ubunku. Mataku yang
nanar karena dipukul oleh mereka serasa bertambah sakit. Batinku
menjerit…“Apa? Irawan?”
Aku terdiam sesaat dan tak terasa butiran bening mengalir jua di pipiku.
Orang yang telah lama aku benci, ternyata sudah tak ada lagi di dunia
yang fana ini. Menyesal rasanya aku membenci ayahku sendiri.
Bagaimanapun IRAWAN ayahku. Di dalam darahku ada nafasnya. Orang yang
pernah menemaniku bermain mobil-mobilan ketika aku masih kanak-kanak.
Orang yang mengajariku bagaimana menjadi seorang anak lelaki yang
tangguh. Dan masih banyak yang ia ajarkan kepadaku.
Tapi sekarang, ia pergi setelah meninggalkan luka yang mendalam kepada
ibu dan aku, anaknya. Ia pergi dan tak akan kembali. Hingga aku dan ibu
harus menjalani hari-hari seperti biasa, tanpa ayah. Semenjak kejadian
itu, barulah aku menyadari arti pentingnya memaknai hidup dan
memperjuangkannya. Aku tak mau sekali lagi jatuh di jurang yang sama.
Menyesal. Apalagi kalau bukan menyesali perbuatan. Karena, manusia yang
paling beruntung adalah manusia yang menjalani hidupnya dengan usaha
yang maksimal, sehingga tak ada penyesalan di akhir waktunya.***